Pondok Gontor Lama
Gontor adalah sebuah desa yang terletak lebih kurang 3 KM sebelah timur
Tegalsari dan 11 KM ke arah tenggara dari kota Ponorogo. Pada saat itu
Gontor masih merupakan kawasan hutan yang belum banyak didatangi orang.
Bahkan hutan ini dikenal sebagai tempat persembunyian para perampok,
penjahat, penyamun, pemabuk, dan sebagainya.
Di tempat inilah Kyai muda Sulaiman Jamaluddin diberi amanat oleh
mertuanya untuk merintis pondok pesantren seperti Tegalsari. Dengan 40
santri yang dibekalkan oleh Kyai Khalifah kepadanya, maka berangkatlah
rombongan tersebut menuju desa Gontor untuk mendirikan Pondok Gontor.
Pondok Gontor yang didirikan oleh Kyai Sulaiman Jamaluddin ini terus
berkembang dengan pesat, khususnya ketika dipimpin oleh putera beliau
yang bernama Kyai Archam Anom Besari. Santri-santrinya berdatangan dari
berbagai daerah di Jawa, konon banyak juga santri yang datang dari
daerah Pasundan Jawa Barat. Setelah Kyai Archam wafat, pondok
dilanjutkan oleh putera beliau bernama Santoso Anom Besari. Kyai Santoso
adalah generasi ketiga dari pendiri Gontor Lama. Pada kepemimpinan
generasi ketiga ini Gontor Lama mulai surut; kegiatan pendidikan dan
pengajaran di pesantren mulai memudar. Di antara sebab kemundurannya
adalah karena kurangnya perhatian terhadap kaderisasi.
Jumlah santri hanya tinggal sedikit dan mereka belajar di sebuah masjid
kecil yang tidak lagi ramai seperti waktu-waktu sebelumnya. Walaupun
Pondok Gontor sudah tidak lagi maju sebagaimana pada zaman ayah dan
neneknya, Kyai Santoso tetap bertekad menegakkan agama di desa Gontor.
Ia tetap menjadi figur dan tokoh rujukan dalam berbagai persoalan
keagamaan dan kemasyarakatan di desa Gontor dan sekitarnya. Dalam usia
yang belum begitu lanjut, Kyai Santoso dipanggil Allah SWT. Dengan
wafatnya Kyai Santoso ini, masa kejayaan Pondok Gontor Lama benar-benar
sirna. Saudara-saudara Kyai Santoso tidak ada lagi yang sanggup
menggantikannya untuk mempertahankan keberadaan Pondok. Yang tinggal
hanyalah janda Kyai Santoso beserta tujuh putera dan puterinya dengan
peninggalan sebuah rumah sederhana dan Masjid tua warisan nenek
moyangnya.
Tetapi rupanya Nyai Santoso tidak hendak melihat Pondok Gontor pupus
dan lenyap ditelan sejarah. Ia bekerja keras mendidik putera-puterinya
agar dapat meneruskan perjuangan nenek moyangnya, yaitu menghidupkan
kembali Gontor yang telah mati. Ibu Nyai Santoso itupun kemudian
memasukkan tiga puteranya ke beberapa pesantren dan
lembaga
pendidikan lain untuk memperdalam agama. Mereka adalah Ahmad Sahal
(anak kelima), Zainuddin Fannani (anak keenam), dan Imam Zarkasyi (anak
bungsu). Sayangnya, Ibu yang berhati mulia ini tidak pernah menyaksikan
kebangkitan kembali Gontor di tangan ketiga puteranya itu. Beliau wafat
saat ketiga puteranya masih dalam masa belajar.
Sepeninggal Kyai Santoso Anom Besari dan seiring dengan runtuhnya
kejayaan Pondok Gontor Lama, masyarakat desa Gontor dan sekitarnya yang
sebelumnya taat beragama tampak mulai kehilangan pegangan. Mereka
berubah menjadi masyarakat yang meninggalkan agama dan bahkan anti
agama. Kehidupan mo-limo: maling (mencuri), madon (main perempuan),
madat (menghisap seret), mabuk, dan main (berjudi) telah menjadi
kebiasaan sehari-hari. Ini ditambah lagi dengan mewabahnya tradisi
gemblakan di kalangan para warok.
Demikianlah suasana dan tradisi kehidupan masyarakat Gontor dan sekitarnya setelah pudarnya masa kejayaan Pondok Gontor Lama.[]